Sabtu, 30 Oktober 2010

penyimpangan kejiwan dalam al-quran

A. Al-Baqarah, Ayat 188
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ. (١٨٨)
Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”
1. Tinjauan Tafsir
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini berkenanaan dengan seorang lelaki yang mempunyai utang sejumlah harta, sedangkan pemiutang (yang punya piutang) tidak mempunyai bukti yang kuat. Lalu lelaki tersebut mengingkari utangnya dan mengadukan perkaranya kepada hakim, padahal dia mengetahui bahwa dia berhadapan dengan perkara yang hak, dan bahwa dirinya berada di pihak yang salah (berdosa) dan memakan harta haram.
Ayat ini menunjukkan bahwa keputusan hakim tidak boleh mengubah hakikat sesuatu –dengan kata lain, tidak dapat mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram– melainkan dia hanya memutuskan berdasarkan apa yang tampak pada lahiriyahnya. Untuk itu, apabila keputusannya bersesuaian dengan hakikat permasalahan, memang demikianlah yang diharapkan. Jika keputusannya itu tidak bersesuaian dengan hakikat permasalahan, maka si hakim hanya memperoleh pahalanya, sedangkan yang menanggung dosanya ialah pihak yang memalsukan tanda bukti dan melakukan kecurangan dalam perkaranya.




2. Tinjauan Psikologi Modern
Pada ayat ini tersirat bahwasanya seseorang jangan sampai mengambil harta dengan cara yang tidak benar atau bathil karena hal itu akan merugikan diri sendiri dan juga orang lain. Dan juga jangan sampai membawa urusan tersebut ke pengadilan dengan cara kamu menyogok jaksa atau hakim agar kamu memenangkan perkara ini hal itu merupakan penyimpangan kejiwaan disebabkan kamu menginginkan hal itu, dalam psikologi dikenal id (keinginan) hal ini terjadi karena apabila id yang berlebihan (tidak terkontrol) muncul bersamaan dengan superego yang tidak aktif sementara dalam waktu yang sama ego yang seharusnya dominan tidak berhasil memberikan perimbangan, jika seseorang yang menginginkan kemenangan dalam peradilan seperti kasus gayus tambunan dan membutuhkan terbebas dari penjara maka id nya akan memerintahkan agar kebutuhan ini segera dipenuhi dengan cara-cara apapun kalau ternyata superegonya benar-benar lemah dan tidak dapat mengendalikan id nya,gayus tambunan akan menyogok jaksa dan hakim,dalam kasus ini ego tidak memperingatkan bahaya yang minkin terjadi,superego juga tidak berfungsi sebagaimana seharusnya superego tidak memberi isyarat bahwa perbuatan ini adalah jenis perilaku yang menyimpang dari kebenaran padahal gayus tersebut mengetahui bahwa yang dilakukannya tidak benar,hal ini sesuai dengan firman allah Q.s.al-Baqarah ayat188

B. Surat Al-Jatsiyah, Ayat 23
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ. (٢٣)
Artinya : “Maka apakahengkau telah melihat tentang orang yang menjadikan tuhannya hawa nafsu, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan pengetahuan dan Allah telah mengunci mati pendengarannya dan hatinya, dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”


1. Kosa Kata dan Tinjauan Tafsir
Bisa juga dikatakan bahwa karena kaum musyrikin itu menyatakan persamaan orang-orang beriman dengan para pendurhaka –pernyataan yang tanpa dalih sedikit pun– maka ayat di atas “keheranan” atas sikap mereka itu, karena itu ayat di atas memulai pertanyaannya dengan kata “maka”. Allah berfirman: Maka apakah engkau wahai Nabi Muhammad telah melihat yakni terangkanlah kepadaku tentang orang yang memaksakan diri menentang fitrah kesuciannya dengan hawa nafsunya yakni yang tunduk patuh mengikutinya sehingga sesat dari jalan kebenaran, dan Allah membiarkannya sesat dengan membiarkannya larut dalam sebab-sebab kesesatan, seperti keras kepala dan keangkuhan, semua itu berdasarkan pengetahuan.
yakni ilmu Yang Maha Luas, atau ia sesat padahal ia mengetahui kebenaran dan Allah telah mengunci mati pendengarannya sehingga ia enggan meyakini kebenaran, dan meletakkan tutupan atas penglihatannya sehingga ia tidak mampu melihat bukti-bukti yang demikian jelas. Maka jika demikian siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah berpaling darinya dan membiarkannya sesat? Maka apakah kamu wahai kaum musyrikin atau seluruh manusia tidak memperhatikan keadaan orang itu sehingga tidak mengambil pelajaran walau sedikit?.
Kata (ارأيت) ara’aita secara harfiah berarti apakah engkau telah melihat. Tetapi maksud kalimat semacam ini bukanlah makna harfiah itu, tetapi ia dipahami dalam arti terangkanlah kepadaku, dan ini pun bukan bertujuan meminta informasi, tetapi untuk menarik perhatian mitra bicara sambil menunjukkan betapa aneh yang dipertanyakan itu.
Kata (هوى) hawâ adalah kecenderungan hati kepada dorongan syahwat tanpa kendali akal.
Rujukan ke QS. al-Furqan [25]:43, di sana secara panjang lebar telah penulis uraikan perbedaan pendapat para ulama menyangkut firman-Nya: (أفرأيت من اتخذإلهه هواه) afara’aita manittakhadza ilahahu bawâh/maka apakah engkau telah melihat tentang orang menjadikan tuhannya hawa nafsu-Nya.
Firman-Nya: (على علم) ‘alâ’ ‘ilm diperselisihkan maknanya oleh ulama. Ada yang memahaminya dalam arti bahwa sang kafir itu menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan, padahal dia mengakui berdasarkan fitrah kesucian yang dianugerahkan Allah kepada setiap manusia bahwa Allah adalah Tuhan, dan bahwa alam raya ini tidak mungkin wujud tanpa pencipta Yang Maha Esa dan Kuasa. memang bisa saja seorang mengetahui kebenaran tetapi dia ingkar. Pengetahuan saja tidak dapat menciptakan iman, karena pengetahuan berdasar pada nalar, sedang iman bersumber dari kalbu.

2. Tinjauan Psikologi Modern
Dalam bahasa Arab, hawa adalah kecenderungan nafs kepada syahwat. Kata hawa dalam bahasa Arab juga mengandung arti turun dari atas ke bawah, tetapi lebih mengandung konotasi negatif, dan menurut al-Isfahani, penyebutan term hawa mengandung arti bahwa pemiliknya akan jatuh ke dalam keruwetan besar ketika hidup di dunia, dan di akhirat dimasukan kedalam neraka Hawiyah.
Al-Qur’an menyebut hawa dalam berbagai kata bentuknya sebanyak 36 kali, sebagian besar untuk menyebut ciri tingkahlaku negatif, seperti:
1. Perbuatan orang zalim mengikuti hawa nafsu (Q.,s.al-Rum/30:29),
2. Perbuatan orang sesat mengikuti hawa nafsu (Q., s. al-Ma’idah / 5:77),
3. Perbuatan orang yang mendustakan ayat-ayat Allah seperti yang tersebut dalam surat (Q., s. al-An’am / 6:150), dan
4. Perbuatan orang yang tidak berilmu (Q.,s. al-Jatsiyah / 45 : 18).
Pada surat al-Nazi’at / 79:40-41 disebutkan hubungan hawa dengan nafsu:Adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya, dan menahan nafs dari hawanya, maka sesungguhnya sorgalah tempat tinggalnya (Q., s. al-Nazi’at / 79:40-41).Ayat di atas menunjukkan bahwa ada nafs dan ada komponen hawa. Menurut al-Maraghi hawa merupakan keadaan kejatuhan nafs ke dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. jika hawa itu merupakan kecenderungan kepada syahwat, maka kalau dibandingkan dengan motif, hawa adalah motif kepada hal-hal yang rendah dan batil. Dalam surat al-Mu’minun / 23:71 diisyaratkan, jika kebenaran tunduk kepada desakan hawa, maka kata kehidupan manusia akan rusak binasa.
Al-Qur’an banyak sekali mengingatkan manusia agar jangan mengikuti dorongan hawa dapat menyesatkan, seperti yang dijelaskan dalam surat al-An’am / 6:119 dan Q.,s. Shad / 38:26), dan dapat mendorong bertindak menyimpang dari kebenaran (Q.,s. al-Nisa / 4:135). Hawa yang selalu diikuti, menurut al-Qur’an menjadi sangat dominan pada seseorang hingga orang itu menjadikan hawa-nya sebagai Tuhan, seperti yang dipaparkan surat al-Furqan /25 : 43. Sikap mental orang yang mampu menekan hawa nafsunya seperti yang termaktub dalam surat al-Nazi’at / 79:40-41 adalah mental orang yang takut kepada Allah dan perasaan takut kepada Allah itu didahului oleh ilmu sehingga menurut al-Qur’an surat Fathir / 35:28, hanya orang yang berilmu (ulama)-lah yang memiliki rasa takut kepada Allah. Jika melihat munasabah dengan ayat sebelumnya (Q., s. al-Nazi’at / 79:37-38), maka sikap mental ini merupakan kebalikan dari sikap mental orang yang melampaui batas, yaitu orang yang menurut Fakhr al-Razi, mengalami distori pemikiran, dan kebalikan dari menekan hawa nafsu, orang yang melampaui batas itu, justru lebih mengutamakan kesenangan dunia.
Dalam konsep psikologi dikenal dengan adanya libido pada diri manusia, menurut teori C.G. Jung dikenal dengan adanya syadow atau bayangan sisi gelap merupakan bagian yang terlemah, kepribadian yang mirip dengan binatang, berisi keinginan hawa nafsu dan perbuatan yang hina dan tak bermoral tapi dapat bersifat positif yaitu spontannitas kreatifitas dan lain-lain. Dalam al-qur’an surat al-imran ayat : 14 yang artinya, ”Dijadikan rasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan berupa perempuan-perempuan, anak-anak harta benda yang menumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak”. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat keinginan hawa nafsu namun manusia dapat di beri akal pikiran untuk mengendalikannya dan menempatkan yang semestinya.

C. Surat Al-Hujurat, Ayat 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ. (١١)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka lebih baik dari mereka; dan jangan pula wanita-wanita terhadap wanita lain, boleh jadi mereka lebih baik dari mereka dan janganlah kamu mengejek diri kamu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah kefasikan sesudah ima, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

1. Kosa Kata Dan Tinjauan Tafsir

Kata (يسخر) yaskhar/memperolok-olokkan yaitu menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan atau tingkah laku.
Kata (قوم) qaum bisa digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia. Bahasa menggunakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena ayat di atas menyebut pula secara khusus wanita. Memang wanita dapat saja masuk dalam pengertian qaum –bila ditinjau dari penggunaan sekian banyak kata yang menunjuk kepada laki-laki misalnya kata al-mu’minûn dapat saja tercakup di dalamnya al-mu’minât/wanita-wanita mukminah. Namun ayat di atas mempertegas penyebutan (نساء) nisâ’/ perempuan karena ejekan dan “merumpi” lebih banyak terjadi di kalangan perempuan dibandingkan kalangan laki-laki.
Kata (تلمزوا) talmizû terambil dari kata (اللمز) al-lamz. Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata ini. Ibn ‘Asyur misalnya memahaminya dalam arti, ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Ini adalah salah satu bentuk kekurangajaran dan penganiayaan.
Firman-Nya: (عسى أن يكو نوا خيرا منهم) ‘asâ an yakûnû khairan minhum/ boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, mengisyaratkan tentang adanya tolok ukur manusia secara umum. Memang banyak nilai-nilai yang dianggap baik oleh sementara orang terhadap diri mereka atau orang lain, justru sangat keliru. Kekeliruan itu mengantar mereka menghina dan melecehkan pihak lain. Padahal jika mereka menggunakan dasar penilaian yang ditetapkan Allah, tentulah mereka tidak akan menghina atau mengejek.
Kata (تنابزوا) tanabazû terambil dari kata (النبذ) an-Nabz yakni gelar buruk. At-tanabûz adalah saling memberi gelar buruk. Larangan ini menggunakan bentuk kata yang mengandung makna timbal balik, berbeda dengan larangan al-lamz pada penggalan sebelumnya. Ini bukan saja karena at-tanabûz lebih banyak terjadi dari al-lamz, tetapi juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengundang siapa yang tersinggung dengan panggilan gelar buruk, sehingga terjadi tanabûz.

Surat Al-Hujurat, Ayat 12
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ. (١٢)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari dugaan, sesungguhnya sebagian dugaan adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang serta jangan sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka kamu telah jijik kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang.”

2. Kosa kata dan tinjauan tafsir.
Kata (اجتنبوا) ijtânibû terambil dari kata (جني) janb yang berarti samping. Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini kata tersebut diartikan jauhi. Penambahan huruf (تـ) tâ’ pada kata tersebut berfungsi penekanan yang menjadikan ijtanibû berarti bersungguh-sungguhlah. Upaya sungguh-sungguh untuk menghindari prasangka buruk.
Kata (كثيرا) katsîr(an)/banyak bukan berarti kebanyakan, sebagaimana dipahami atau diterjemahkan sementara penerjemah. Jika demikian, bisa saja banyak dari dugaan adalah dosa dan banyak pula yang bukan dosa. Yang bukan dosa adalah yang indikatornya demikian jelas, sedang yang dosa adalah dugaan yang tidak memiliki indikator yang cukup dan yang mengantar seseorang melangkah menuju sesuatu yang diharamkan, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Termasuk juga yang bukan dosa adalah rincian hukum-hukum keagamaan.
Kata (تجسّسوا) tajassasû terambil dari kata (تجسّ) jasa, yakni upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi. Dari sini mata-mata dinamai (جاسوش) jâsûs. Imam Ghazâli memahami larangan ini dalam arti, jangan tidak membiarkan orang berada dalam kerahasiannya. Yakni setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain. Jika demikian jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu. Mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari dugaan negatif terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga.
Kata (يغتب) yaghtab terambil dari kata (غيبة) ghîbah yang berasal dari kata (غيب) ghaib yakni tidak hadir. Ghîbah adalah menyebut orang lain yang tidak hadir di hadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh yang bersangkutan. Jika keburukan yang disebut itu tidak disandang oleh yang bersangkutan, maka ia dinamai (بهتان) buhtân/kebohongan besar. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa walaupun keburukan yang diungkap oleh penggunjing tadi memang disandang oleh objek ghîbah, ia tetap terlarang.
Firman-Nya: (فكرهتموه) fa karihtumûhu/maka kamu telah jijik kepadanya menggunakan kata kerja masa lampau untuk menunjukkan bahwa perasaan jijik itu adalah sesuatu yang pasti dirasakan oleh setiap orang.
Kata (التّوّاب) at-tawwâb seringkali diartikan penerima taubat. Tetapi makna ini belum mencerminkan secara penuh kandungan tawwâb, walaupun kita tidak dapat menilainya keliru.

D. Surat an-Nissa’ ayat : 54
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا ءَاتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ فَقَدْ ءَاتَيْنَا ءَالَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَءَاتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا(54)
Artinya:
“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.

1. Tinjauan Tafsir
Kalau ayat-ayat sebelumnya menerangkan sifat-sifat jelek Yahudi seperti sangkaan bahwa merekalah yang lebih baik dan menempuh jalan yang lebih benar dari orang-orang mukmin, maka pada ayat ini diterangkan sifat dengkinya, mereka kepada Muhammad saw. karena kenabian jatuh kepadanya, tidak kepada orang Yahudi, dan mereka dengki kepada pengikut-pengikut Nabi Muhammad saw, karena mereka percaya dan beriman kepada-Nya, terutama setelah mereka melihat kemajuan dan kemenangan yang dicapai oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya, dari sehari ke sehari bertambah kuat dan bertambah kuat dan makin banyak pendukung dan pengikutnya. Kedengkian orang-orang Yahudi kepada Muhammad dan pengikutnya itu, adalah suatu kekeliruan besar dari mereka dan sangat mengherankan, karena apa yang telah dicapai Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu bukanlah hal yang baru, sebab Allah telah memberikan juga kitab, hikmah dan kerajaan kepada keluarga keturunan Nabi Ibrahim; seperti yang pernah diberikan kepada Nabi Yusuf, Nabi Daud dan NabiSulaiman.
Sifat dengki ialah perasaan tidak senang melihat orang lain memperoleh nikmat Allah, malah menginginkan nikmat itu lenyap dari pemiliknya. Sifat itu tidak saja buruk tetapi juga akan menghilangkan pahala-pahala kebajikan yang telah dikerjakan.
Nabi SAW. Bersabda:
إباكموالحسدفإنالحسديأكلالحسناتكماتأكلالنارالحطب
Artinya:
"Jauhilah sifat-dengki karena sesungguhnya dengki itu memakan (pahala) kebaikan. seperti api memakan kayubakar" (H.R. Abu Daud dari Abu Hurairah)

2. Tinjauan Psikologi Modern
Dalam pembahasan ini akan dijelaskan bersamaan mengenai hasut dan merendahkan orang lain karena kemiripan istilah tersebut, dalam surat al-Hujurat Allah melarang hambanya untuk tidak mengolok-ngolokan hamba yang lain karena boleh jadi yang diolokan itu lebih baik dari padanya dalam psikologi dikenal dengan adanya sensasi, persepsi dan apresiasi. Seseorang yang melihat hamba lainnya sedang diberi karunia yang banyak oleh Allah maka seseorang akan melihatnya (sensasi) dan kemudian akan timbul rasa hasud kepadanya (persepsi) dan berkeinginan untuk memiliki karunia tersebut maka ia akan menghasudnya. Hal ini merupakan sifat merendahkan orang lain (apresiasi) yang telah tersirat dalam Surat an-Nissa’ ayat : 54.
Ayat di atas melarang melakukan al-lamz terhadap diri sendiri, sedang maksudnya adalah orang lain. Redaksi tersebut dipilih untuk mengisyaratkan kesatuan masyarakat dan bagaimana seharusnya seorang merasakan bahwa penderitaan dan kehinaan yang menimpa orang lain menimpa pula dirinya sendiri. Di sisi lain, tentu saja siapa yang mengejek orang lain maka dampak buruk ejekan itu menimpa si pengejek, bahkan tidak mustahil ia memperoleh ejekan yang lebih buruk dari yang diejek itu. Bisa juga larangan ini memang ditujukan kepada masing-masing dalam arti jangan melakukan suatu aktivitas yang mengundang orang menghina dan mengejek anda, karena jika demikian, anda bagaikan mengejek diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar